Selasa, 08 Februari 2011

Untuk Kata Berpisah

Saya di lahirkan di keluarga yg tidak utuh, perpisahan orang tua saya menjadi menu utama di lima tahun pertama saya hidup. Saat itu saya tidak mengerti apa-apa tentang perpisahan. Saya masih ingat betul tatapan penuh kasihan yang sering saya terima, atau pertanyaan dari pada tetanggga “mama nya mana? Pernah telpon kamu?” jujur saya tidak habis fikir dengan pemberi pertanyaan-pertanyaan ini, bagaimana mungkin pertanyaan serupa dilontarkan kepada bocah berusia lima tahun yang masih bingung dengan pondasi keluarga nya yg baru itu? Tentu nya pelempar pertanyaan pertanyaan ini adalah manusia yg haus akan hoax, pelaku drama tingkat tinggi. Dapat dikatakan salah satu pelajaran yang paling pertama saya dapat mengenai hidup adalah sebuah perpisahan, seharus nya saya pintar mengenai hal ini, tetapi ternyata tidak juga.... saya belum cukup pitar akan hal ini. Tahun 2007 saya bertemu pribadi yang saya anggap luar biasa pada saat itu, dan kami saling jatuh cinta dan empat bulan kebersamaan kamu terasa manis, indah, dan semua berjalan baik-baik saja. Diam-diam saya membangun mimpi dibelakangan nya, bermimpi kami tetap bersama, bermimpi saya bisa menjadi ibu dari anak-anak nya dan beragam mimpi pecandu cinta umum nya. Ketika hubungan kami masuk dibulan kelima, pahit nya sudah mulai saya rasakan, ide-ide yang tidak sejalan, waktu yang dibagi tidak adil (begitu menurut saya saat itu) kecemburuan - kecemburuan tanpa alasan dan berbagai macam racun dalam sebuah hubungan seolah tidak pernah berhenti menghampiri. Kekasih saya saat itu cukup cekatan tanggap bahwa pondasi hubungan kami sudah sangat melemah, bahwa kami tidak bisa disatukan dalam wadah hubungan berpacaran lagi. kesalahan terbesar saya saat itu adalah saya menaruh tanggung jawab begitu besar dipundak kekasih saya saat itu, yaitu kebahagiaan saya. Saya berfikir hanya dia yang mampu dan bertanggung jawab atas kebahagiaan saya, konsep cinta yang egois dan berat sebelah ini saya pertahankan sampai dua tahun lama nya. Dulu saya berfikir Tuhan tidak menyukai perpisahan, dan saya rasa memang begitu ada nya. Keegoisan saya yang takut kehilangan kebahagiaan itu saya bumbui dengan stigma bahwa “Tuhan tidak menyukai perpisahan” saat itu saya lupa bahkan mungkin pura-pura lupa bahwa kami bahkan tidak terikat pernikahan, bahwa kami hanya berada disebuah wadah yang bernama berpacaran yang dimana seharus nya hubungan ini kami alokasi kan sebagai masa penjajakan yang sejati nya jika memang kami tidak cocok dan sudah tidak bisa disatukan maka perpisahan sebagai kekasihlan yg harus terjadi, konyol memang.

Sebagian besar bahkan mungkin kita semua menyakini bahwa Tuhan tidak menyukai perpisahan, begitu kuat nya stigma tersebut sampai kita lupa bahwa Tuhan tidak pernah menghalalkan kita menyakiti satu sama lain meski saat itu kita masih dalam satu wadah pernikahan atau berpacaran. Saya yakin Tuhan tidak akan marah dengan perubahan pondasi hubungan atas nama kedamaian itu sendiri. Saya dan kekasih saya saat itu akhrinya memutuskan untuk merubah pondasi kami menjadi teman biasa, teman tanpa kontak fisik, teman yang tahu dan mengerti batas. Kami tidak berpisah seutuh nya, kami hanya merubah pondasi hubungan kami demi efek yang jauh lebih menenangkan. Saya percaya Tuhan lebih merestui pondasi baru kami ketimbang kami masih ada dipondasi lama dan teru menerus menyakiti satu sama lain. Pelajaran utama yang saya dapat dari kejadian itu adalah memaafkan bukan lah berarti pengembalian situasi ke kondisi semula. Dan saya juga belajar bahwa pelaku ‘drama’ dalam hidup ini akan sulit bahagia, konsep diri yang selalu mengasihani diri sendiri adalah salah satu faktor yang membuat kita sulit bahagia, menggantungkan kebahagiaan dan harapan, mimpi, dan cita-cita setinggi tinggi kepada manusia lain adalah tindakan yg biadab dan luar biasa keji nya. Berikut adalah beberapa point yang harus selalu saya ingat ketika perubahan pondasi memang harus terjadi.

1. Kita bertanggung jawab atas kebahagiaan diri kita sendiri, orang lain hanyalah pelengkap

2. Konsep mengasihini diri sendiri adalah ego yang harus dibasmi.

3. Saling memaafkan bukan berarti kembali pada kondisi semula.

4. Perpisahan tidaklah selalu berarti perpisahan mutlak, terkadang perpisahan berarti perubahan pondasi saja dan segala kemungkinan yg lebih baik menanti kita.

Dalam sebuah perpisahan pastilah ada sebuah kebenaran yg mungkin terlihat utopis tapi saya percaya dengan hati ikhlas kita semua bisa merasakan nya dan Tuhan bukanlah mahluk picik yang membiarkan kebahagiaan kita terhenti begitu saja hanya karna perpisahan yang tidak kita inginkan, management diri, optimisme dan ikhlas akan menjadi bekal dan kekuatan bagi kita untuk menghadapi pondasi baru

Cecilia chevaz

Tebet, 08 Febuari 2011